
ASTRA Konglomerasi Otomotif Indonesia, Sempat Rasakan Penjara

Berita Viral Hari Ini – ASTRA konglomerasi otomotif Indonesia telah menjadi kekuatan dominan dalam sektor bisnis tanah air.
William Soerjadjaja atau Tjia Kian Liong adalah sosok di balik perusahaan raksasa yang menyediakan berbagai produk otomotif.
Pada tahun 1950-an, ia mengalami masa-masa sulit yang membuatnya harus mendekam di penjara.
Tuduhan korupsi tak berdasar membuatnya terjerat di balik jeruji besi. Akibatnya, nama baiknya tercemar dan perusahaan menghadapi kehancuran memilukan.
Namun, William tak menyerah sebaliknya ia mampu bangkit dari keterpurukan dan membangun kembali Astra menjadi konglomerasi otomotif yang kuat.
Dalam perjalanannya, Astra telah berhasil mengukir prestasi gemilang dan menjadi pemimpin dalam industri otomotif Indonesia.
ASTRA Konglomerasi Otomotif Indonesia, Bangkit Setelah Jatuh Terpuruk
Perjalanan ASTRA Konglomerasi Otomotif Indonesia mengalami proses luar biasa sejak hari kelahirannya yang sulit.
Setelah melepaskan diri dari belenggu penjara, pendiri perusahaan ini, William Soeryadjaya dengan cepat bangkit kembali berkat bantuan adiknya.
Mereka membeli sebuah perusahaan yang terletak di Jl. Sabang No. 36A, Jakarta. Namun, perusahaan itu berada dalam kondisi suram, bisnisnya berantakan, dan kantornya kecil serta sering banjir.
Adik William kemudian mengusulkan nama Astra untuk perusahaan itu. Dalam buku Man of Honor: Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya (2012).
Astra adalah sosok dewi Yunani Kuno yang terbang ke langit dan menjadi bintang terang.
Dengan memberikan nama tersebut, adiknya berharap agar perusahaan abangnya juga mengalami nasib sama cerahnya seperti dewi tersebut.
Baca Juga: SM Entertainment Terguncang, Anjlok Sumber Uang Hengkang
Pada tanggal 20 Februari 1957, Astra International Inc resmi memulai operasinya setelah terdaftar di kantor Notaris Sie Khwan Djioe.
Awalnya Astra bergerak untuk sektor kebutuhan rumah tangga. Namun, selama 10 tahun pertama sejak pendiriannya justru menghadapi berbagai hambatan dan hampir bangkrut.
Tetapi segalanya berubah saat terjadi ketidakstabilan ekonomi pada tahun 1960-an. Jatuhnya rezim Soekarno dan naiknya Soeharto sebagai presiden membawa berkah bagi William.
Astra mulai menunjukkan kekuatannya, hingga tahun 1966, William mendapat keuntungan besar yakni pinjaman dana sebesar US$ 2,9 juta dari Amerika Serikat.
Tidak hanya mendapatkan dana segar, William mengantongi izin untuk mengimpor berbagai produk dari AS.
Baca Juga: Pabrik Nikel Terbesar Dunia Sekaligus Pertama Milik Indonesia
Pada saat yang sama, pemerintah sedang mengimplementasikan proyek-proyek yang membutuhkan truk besar untuk pengangkutan.
Melihat izin impor truk tidak terlalu ketat di Indonesia, William melihat peluang bisnis yang sangat menguntungkan.
Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengimpor truk Chevrolet dari AS dan menjualnya kepada pemerintah.
Dalam waktu singkat, Astra berhasil mengubah nasibnya yang hampir bangkrut menjadi salah satu konglomerasi otomotif terbesar Indonesia.
Tidak Patah Arang Alami Hambatan Bisnis Mental Penting Pengusaha
Astra Konglomerasi Otomotif Indonesia telah melewati berbagai tantangan dan rintangan dalam perjalanannya.
Awalnya, pendiri perusahaan ini, William Soeryadjaya, menghadapi larangan impor truk besar setelah mendapat sanksi dari Amerika Serikat.
Namun, ia tidak patah arang dan melihat peluang pasar otomotif Jepang yang belum terlalu berkembang di Indonesia.
William menjalin kerjasama dengan Toyota pada Februari 1969 yang menjadi titik balik penting dalam sejarah Astra.
Sejak saat itu, kendaraan Toyota mulai berlimpah di Indonesia, mulai dari truk hingga mobil biasa.
Astra juga kemudian memasarkan merek-merek Jepang lainnya, seperti Honda, Isuzu, dan Daihatsu.
Ia menginvestasikan dana besar untuk menguasai seluruh rantai industri otomotif, mulai dari pembuatan komponen hingga pendistribusian.
Selain itu, William menerapkan sistem manajemen ala Jepang yang dikenal sebagai Keiretsu.
Yakni seorang direktur satu perusahaan dapat menjadi komisaris perusahaan lain. Strategi ini terbukti efektif, sehingga Astra berhasil memperoleh keuntungan besar dan mampu mengendalikan pasar.
Sayangnya, bisnis perbankan menjadi batu sandungan bagi Astra ketika mereka memiliki Bank Summa.
Masalah terjadi pada Bank Summa pada tahun 1992 memaksa William untuk menjual seluruh sahamnya demi menyelamatkan nasabah.
Setelah peristiwa itu, kepemilikan Astra tidak lagi berada di tangan William. Astra sepenuhnya menjadi milik perusahaan Singapura bernama Jardine Cycle & Carriage Ltd dengan saham 50,11%.***